Penulis: Amir Mahmud (Peneliti Sosial Paer Lauq Institut)


BEBERAPA hari ini dukungan terus bermunculan dari berbagai elemen masyarakat terutama kalangan politisi parlemen terhadap program Rp40 M sembako yang di siapkan bupati baru: Iron-Edwin. 


Beberapa diantaranya dari partai Hanura, PKB dan tentu saja partai pengusung lainnya. 


Namun, ada juga partai parlemen yang tidak setuju dengan program tersebut. Ketidak setujuannya tentu dengan argumentasi yang jelas dan terukur. 


Beberapa dasar argumentasi penolakan kebijakan tersebut diantaranya: anggaran tidak ditempatkan di Dinas Sosial tetapi Dinas Perdagangan; penerima manfaat di luar data Dinas Sosial; pemerintah belum memiliki big data calon penerima manfaat; alasan menekan inflasi tidak masuk akal karena tidak melalui oprasi pasar atau pasar murah; dan terakhir perubahan dan penambahan anggaran tanpa sepengetahuan legislatif. 


Beberapa alasan tersebut menjadi basis argumentasi penolakan kebijakan penyaluran bansos Rp40 M di era kepemimpinan SMART.


Pun yang setuju program bansos Rp40 M juga sangat mengapresiasi kebijakan tersebut juga dengan argumentasi demi kepentingan rakyat. 


Sesungguhnya penolakan yang dilakukan anggota parlemen dari PDIP itu lebih kepada aspek keterbukaan dan rasionalitas dari kebijakan tersebut. 


Dari lima dasar penolakan tersebut pada dasarnya PDIP menilai terdapat celah "kebocoran" yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara di tengah kondisi kebijakan nasional efisiensi anggaran.


Sebagaimana Haji Najamuddin, mantan politisi senior PKB dalam wawancaranya dengan salah satu media online menyebutkan ketika program bansos di lakukan oleh Dinas Perdagangan tentu mekanismenya akan lain.


Proses pelaksanaan kegiatan akan melalui proses tahapan tender, tentu akan beririsan dengan fee, keuntungan, dan teknis lainnya yang memungkinkan terbuka celah "melanggar aturan" dalam prosesnya.


Informasi program bansos Rp40 M itu menarik pembicaraan publik menjadi lebih "seksi" di tengah masyarakat Lombok Timur. Kebijakan tersebut menuai pro-kontra. Sebagian masyarakat setuju sebagian yang lain menolak. 


Namun menurut hemat penulis persoalannya tidak sesederhana setuju dan tidak setuju. Tetapi rasional atau tidak kebijakan Rp40 M digelontorkan di tengah gencarnya pemerintah pusat menerapkan kebijakan efisiensi anggaran secara nasional dan berpotensi di lakukan dengan mekanisme melanggar aturan. 


Bahwa program bansos menyasar 273 ribu rakyat miskin tentu tidak salah dan sangat dibutuhkan. 


Tetapi apakah mekanisme dan prosedur yang dilalui sudah benar. Lalu, apakah masuk akal membuat program bombastis di tengah kondisi keuangan negara defisit. Apakah tidak terburu-buru membagikan sembako dengan angka Rp40 M tanpa data pasti penerima manfaat. 


Memang menjadi hak kepala daerah untuk membuat kebijakan tetapi juga harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai basis terbitnya sebuah kebijakan sehingga tidak menjadi persoalan hukum ketika dan sesudah program itu di lakukan.


Sebagaimana Suharno dalam bukunya:  Mengadili Kebijakan dalam Perspektif Demokrasi dan Negara Hukum, menjelaskan tentang urgensi akuntabilitas kebijakan publik bahwa peran pemerintah dewasa ini dalam ekonomi di kelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu pertama, peran alokasi pemerintah untuk alokasi sumber-sumber ekonomi; kedua, peran distribusi yaitu pemerintah berperan untuk mendistribusikan pendapatan atau kekayaan yang di miliki untuk kemaslahatan rakyat dan ketiga, peran stabilitas adalah peran pemerintah dalam menjaga kestabilan kondisi 


Thomas R. Dye, juga dalam Suharno mendefinisikan kebijakan publik sebagai tindakan pemerintah. "Kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (public policy is whatever government choose to do or not to do)". 


Artinya apapun tindakan pemerintah dalam keadaan pasif atau aktif tetap bisa di mintakan pertanggungjawaban. Dengan demikian sebuah kebijakan yang diterbitkan pemerintah harus dan penting mengedepankan aspek akuntabilitas di dalam menerbitkan sebuah kebijakan yang sifatnya mengatur urusan publik atau bersifat beschiking.


Mengadili Kebijakan


Di dalam negara hukum, segala hal dapat dimintakan pertanggungjawabannya ketika tidak sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Doktrin negara hukum meniscayakan pertanggungjawaban dalam setiap tindakan yang di lakukan oleh subjek hukum. 


Dalam hukum pidana dikenal istilah pertanggungjawaban pidana, dalam aspek perdata di dikenal pertanggungjawaban contractual liability, dalam hukum administrasi di kenal pertanggungjawaban administratif.


Pada prinsipnya setiap tindakan hukum yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi dari pilihan-pilihan tindakan sebagai penganut sistem negara hukum atau machstaat. Pada buku yang sama juga menjelaskan bahwa sebuah kebijakan yang diterbitkan dapat di adili jika melanggar aturan-aturan yang telah di tetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Tentu yang bersifat beschikking.


Dengan demikian konsekuensi sebagai negara hukum adalah segala hal yang bersifat mengandung kewenangan dan kewajiban baik oleh diri pribadi, umum dan tindakan administratif yang mengandung perbuatan melawan hukum dapat di uji di dalam ruang peradilan. Sebab peradilan yang independen dan merdeka merupakan salah satu ciri negara hukum dan demokratis. 


Maka mengadili kebijakan publik adalah sebuah keniscayaan jika memang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang di usung konstitusi dan konsep negara hukum. 


Sebab basis utama konstitusionalisme adalah menjaga hak asasi manusia tetap terjaga sekaligus menjamin kepentingan rakyat sebagai kepentingan utama dalam proses pembangunan. Dan kekuasaan tidak lebih hanya instrumen untuk menjalankan amanat konstitusi tanpa mengebiri atau mengangkangi hukum.


Semoga gagasan ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan. Bahwa kebaikan tidak akan pernah terlambat untuk dilakukan tetapi prosedur dan kebijaksanaan adalah yang utama. (*)