Oleh: Amir Mahmud, Penulis adalah seorang aktivis dan pemerhati sosial 


ADA fenomena menarik yang terjadi beberapa minggu ini di bulan pertama, Januari, 2025. Setidaknya tahun 2025 telah memberikan catatan awal yang sangat sensasional bagi pemerintahan baru rezim Prabowo-Gibran.


Trend nasional soal pagar laut di Banten dan memviralkan sosok nelayan Khalid yang tiba-tiba membuka mata jagad media dan mengantar nama Pak Khalid trending. Namun, saya tidak ingin menambah viral nelayan Khalid karena sudah diback up media nasional dan aktivis pro demokrasi secara nasional. 


Sebaliknya dari pesisir utara Jakarta saya ingin mencoba mengurai fenomena menarik lainnya yang terjadi di daerah kita terkait beberapa isu terutama soal pupuk subsidi yang trending di group WA dan memunculkan kontroversi narasi diantara sesama pegiat aktivis sosial di Jagad sosial media. Dan lucunya fenomena itu hanya berserakan di jagad maya. Dan hanya di salah satu platform meta group bernama WhatsApp.


Isunya: subsidi pupuk, petani, distributor dan pemerintahan. Secara garis besar gerakan ini mengambil setting rakyat dan kebijakan pupuk murah. Pupuk murah sesungguhnya sudah sejak lama direalisasikan pemerintah sebagai sistem proteksi bagi petani oleh negara. Sederhananya negara hadir sebagai sistem proteksi bagi petani dari sistem pasar yang terbuka. 


Pertanyaannya seperti apa sistem perlindungan negara itu? Maka jawabannya adalah "subsidi". Subsidi sejak lama dijadikan sebagai sistem proteksionisme oleh negara melindungi aktivitas ekonomi di suatu negara.


Konsep subsidi sendiri merupakan teori ekonomi yang lahir sejak abad ke 18 dengan konsep fisiokratisme dengan salah satu pemikirnya adalah Francois Quesney, dari Prancis. Dan konsep "subsidi" memang di gunakan untuk melindungi petani dan industri dalam negeri dari persaingan pasar global. 


Kehadiran subsidi sesungguhnya juga adalah wujud moralitas pemerintahan kepada masyarakatnya. Sebagai alat negara atau state aparatus kewajiban moral pemerintah untuk menjaga masyarakat baik yang tersegmentasi ke dalam petani, nelayan, buruh, kaum miskin kota, disabilitas, kelompok marginal dan kelompok lainnya agar terhindar dari praktik kesewenang-wenangan. Sebagaimana amanat konstitusi yang di tuangkan dalam bab enam mengatur perekonomian dan kesejahteraan sosial. Pasal 33 ayat 1,2 dan 3.


1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.


Kebijakan subsidi selama ini telah di realisasikan pemerintah namun masih saja terjadi kita temukan ada praktik penggembosan kebijakan subsidi negara oleh oknum penyelenggara penyaluran program pemerintah. 


Pada konteks pupuk sebagai kebutuhan petani jelas regulasi mengatur kebijakan pupuk bersubsidi tidak boleh di jual di atas harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah.


Instrumen independen 

Fenomena ini akan terus terjadi selama kebijakan pemerintah tidak melibatkan instrumen independen (kerakyatan) sebagai mitra kerja pengawasan program pemerintah yang menyentuh kebutuhan masyarakat. 


Munculnya gerakan aktivisme dalam pengungkapan praktik curang oknum penyelenggara urusan penyaluran pupuk subsidi adalah bukti kepedulian masyarakat untuk menjaga dan menyelamatkan kebijakan pemerintah agar sesuai regulasi dan tepat sasaran.


Namun, sayangnya gerakan itu hanya sekedar tindakan "aktivisme perompak" di tengah keruh gelombang euforia kemenangan kontestasi nahkoda baru perahu bernama Patuh Karya. 


Ia hanya gerakan teror yang dilakukan persis seperti perompak Somalia yang selalu melakukan perompakan setiap kali ada kapal-kapal kontainer sipil memuat barang-barang ekonomi melewati perairan Somalia. 


Seolah-olah setiap gerakan selalu bertendensi politis transaksional. Tidak ada gerakan murni pembelaan terhadap hak-hak dan kepentingan masyarakat serta penguatan terhadap budaya demokratik. 


Gerakan sipil kita mengalami kemerosotan moral dan etika. Elit dan tokoh gerakan bahkan organisasi intelektual kadang-kadang juga mengalami pergeseran nilai dan spirit "perlawanan" terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dominasi. 


Gerakan aktivisme kita tidak lagi memiliki daya tekan kepada kelompok dominasi. Gerakan aktivisme terkesan dan terasa seperti ruang bergainning untuk berkompromi atas kepentingan individu dan "gerombolan". Hak-hak dan kepentingan masyarakat kemudian berubah menjadi komoditas tendensius "berbau pulus". Lalu, pertanyaannya kepada siapa dan kemana lagi masyarakat lemah dan miskin mengadukan nasibnya?


Intelektual organik


Kita butuh keberanian untuk melawan arus mainstream. Perubahan tidak pernah terjadi oleh komunitas besar. Perubahan selalu lahir dari aktivitas sekelompok kecil yang disebut sebagai creatif minority. Dan itu adalah kader-kader yang dididik dari organisasi-organisasi intelektual yang di didik ketat, disiplin dan memiliki prinsip independensi juga kemandirian berfikir serta kemerdekaan bertindak. 


Mereka adalah intelektual organik yang tumbuh dan besar dari proses kaderisasi tersistematis, disiplin dan berjenjang yang berinteraksi langsung dengan realitas masyarakat miskin, lemah dan terpinggirkan. Dan tentu memiliki spirit Perubahan kuat untuk membela kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Bahwa mereka yakin kemerdekaan sesungguhnya adalah kemerdekaan yang lahir sejak di dalam fikiran.


Semoga gerakan pembelaan kepada masyarakat miskin, lemah dan terpinggirkan tidak hanya sampai di batas pupuk dan subsidi tapi juga beranjak kepada hak-hak lainnya yang tidak bisa di kurangi secara asasi oleh keadaan dan sistem apapun. Sebagaimana amanat konstitusi pasal 36 UUD 1945. (*)