SUARANUSRA.COM – Proses mutasi eselon III dan IV di jajaran Pemerintah Provinsi NTB pada (25/03) lalu telah menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat terutama di kalangan pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Salah satu LSM yang memprotes keras kebijakan Pj Gubernur NTB, Lalu Gita Ariadi itu adalah Kasta NTB, bahkan anggota dari LSM itu sampai melakukan aksi demonstrasi

Dalam orasinya, Pembina Kasta NTB, Lalu Wink Haris dengan tegas meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mencopot Pj Gubernur NTB, Lalu Gita Ariadi karena dinilai melanggar undang-undang (UU) terkait mutasi pejabat di Pemprov NTB pada 25 Maret 2024 lalu.

“Buntut mutasi 25 Maret lalu telah memantik keributan di kalangan masyarakat,” teriak Wink Haris

Masih lanjut dia, sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang.

Khususnya di Pasal 71 ayat (2) menegaskan gubernur/ wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dilarang melakukan pergantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri.

“Mutasi pejabat administrator, pejabat pengawas dan pejabat fungsional yang dilakukan Pj Gubernur NTB, telah memantik keributan publik yang seharusnya tidak perlu terjadi, kalau Pj Gubernur tidak terlalu mengedepankan subjektivitas dan ego pribadi dengan memaksakan harus ada mutasi,” ungkapnya.

Lebih jauh Wink Haris menjelaskan, dalam Pasal 71 terdapat beberapa ayat yang wajib dipatuhi oleh Pj. Selain ayat (2) ayat (4) dipertegas bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau penjabat Bupati/Wali Kota.

Selanjutnya pada ayat (5) dijelaskan pula bahwa “Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubemur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon Oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.”

Dan pada ayat (6) dijelaskan bahwa ada sanksi bagi kepala daerah yang melanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu salah satu yang menyebabkan seorang kepala daerah apakah kepala daerah definitif maupun PLT, PJS maupun PJ untuk dapat diberhentikan adalah, apabila kepala daerah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

“Karenanya maka kami minta Mendagri harus tegas, apabila Pj. Gubernur NTB tidak membatalkan mutasi yang sudah dilakukan maka Pj. Gubernur NTB harus diberhentikan karena sudah jelas melanggar ketentuan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016,” ujar dia.

Dia menjelaskan, andaipun benar sesuai informasi yang didapatkan dari orang dalam di Badan Kepegawaian Provinsi NTB, bahwa Pj. Gubernur NTB mendapatkan persetuiuan untuk melakukan mutasi, tetap saja terjadi pelanggaran karena surat persetujuan tersebut telah menjadi kadaluarsa dan bertentangan pelaksanaannya oleh Pj. Gubernur NTB setelah tanggal 22 Maret 2024.

Sehingga, tidak dapat digunakan sebagai dasar, surat persetujuan tersebut yang dipakai mutasi oleh Pj. Gubernur berdasarkan Surat Plh. Direktur Jenderal otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Nornor: 100.2.2.0/ 1903/OTDA, tanggal 8 Matet 2024, perihal Persetuiuan Pengangkatan, Pelantikan, Pengukuhan, dan Pemberhentian Pejabat Administrator, Pejabat Pengawas dan Pejabat Fungsional di Lingkungan Pemprov NTB.

“Maka otomatis mutasi dan pelantikan pejabat yang dilakukan oleh Pj. Gubernur otomatis harus dibatalkan karena surat persetujuan tertanggal 8 maret 2023 ini dengan sendirinya tidak berlaku setelah keluarnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2024 tersebut di atas,” tandasnya. (SNR)