SUARANUSRA.COM – Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Provinsi NTB, Muslim, ST., M.Si menyebut tegas jika implikasi dari Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) beserta regulasi turunannya, salah satunya terkait dengan penangkapan ikan yang terukur sejatinya bermaksud baik, tapi perlu disosialisasikan lebih massif agar tidak memberikan dampak buruk bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan.

“Yang diberatkan oleh nelayan dan pelaku usaha perikanan adalah acuan harga satuan yang terlalu tinggi. Harga di pasaran malah lebih murah,” katanya di Kantor DPRD NTB saat Pengurus Asosiasi Nelayan dan Pengusaha Perikanan (Anpunan) lakukan hearing. Senin (13/11/2023).

Masih kata dia, pihaknya juga mengakui jika kewajiban sebesar lima persen bagi nelayan untuk membayar penerimaan negara bukan Pajak (PNBP) dari total akumulasi hasil tangkapan juga cukup memberatkan.

Termasuk juga terkait dengan kewajiban bagi setiap kapal untuk memasang PMS (GPS, red) juga memberatkan. Sebab selain harus membelinya secara mandiri, alat itu juga bakal dikenakan pajak setiap tahunnya.

“Selain itu, pengurusan dokumen kapal dengan bobot 30 GT ke atas ke pemrintah pusat juga memberatkan. Padahal sebelumnya, itu wewenangnya kami di provinsi,” ujarnya.

Diakui dia atas persoalan itu, pihaknya sejatinya sudah melakukan rapat koordinasi dengan seluruh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi se-Indonesia untuk meminta pemerintah pusat melakukan moratorium (penundaan, red) peraturan pemerintah (PP) 11 tahun 2023 tentang penangkapan ikan terukur, sampai tidak ada lagi persoalan berat yang dialami oleh nelayan dan pelaku usaha perikanan.

“Kami juga sudah koordinasi dengan semua Kepala Dinas se-Indonesia. Persoalan yang dialami sama, sehingga kami berharap, pemerintah pusat dapat melakukan moratorium aturan ini, sampai akhirnya semua persoalan yang terjadi hari ini dapat diminimalisir,” bebernya.

Hal lain yang mesti menjadi pertimbangan juga adalah dampak Pandemi Covid-19 dan kenaikan BBM yang masih memberatkan nelayan. “Dampak Covid-19 dan melambungnya harga BBM sudah sangat memberatkan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Atas dasar pertimbangan itu juga kami harap aturan itu di moratorium,” ungkapnya.

Masih kata dia, di sisi lain pemerintah pusat, akan meminjam lahan pemerintah darerah dalam rangka untuk menginfementasikan kebijakan itu di lapangan. Tapi persoalannya yang mesti melakukan perawatan aset adalah daerah.

“Kami sementara masih berdiskusi dengan pimpinan, karena itu barang dipakai untuk usaha mereka. Karena ini hak provinsi kalau ini rusak apa tanggungjawab pusat. Jadi harus jelas antara hak dan kewajiban antar pihak,” ketusnya.

Dikataknya, pihaknya mendorong bagaimana kondisi masyarakat nelayan pada umumnya pada situasi saat ini, pemerintah pusat perlu menjadi perhatian kondisi sosial ekonomi masyarakat di bawah. Karena pada prinsipnya seluh pihak di NTB baik eksekutif dan Legislatif sepakat bahwa aturan ini dimimta untuk di pertimbangkan lebih matang.

“Kami minta jangan diimplementasikan, berikan ruang untuk melakukan sosialisasi dan sambil kita membaca tingkat kesiapan masyarakat nelayan dan pelaku usaha nelayan,” tandasnya.

Sebelumnya, Ketua Anpunan NTB, H. Hulain, MH menyatakan nelayan dan pelaku usaha perikanan tangkap di NTB, saat ini mulai menjerit dan terancam alami kerugian besar pasca mulai diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) 11 tahun 2023 tentang penangkapan ikan terukur, berserta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) yang merupakan regulasi turunan dari UU Cilaka.

Ditegaskan dia, salah satu poin yang diatur tegas dalam aturan itu adalah pembatasan zona dan tangkapan ikan oleh nelayan.

Menurut dia, ketentuan itu secara nyata akan membunuh penghidupan nelayan dan pelaku usaha perikanan kecil. “Aturan ini bukan mensejahterakan tapi mengebiri hak kesejahteraan dan penghidupan masyarakat, khususnya nelayan dan pelaku usaha perikanan, sehingga harus kita lawan,” tegasnya.

Masih kata dia, jika para nelayan dan pelaku usaha perikanan (pemilik kapal, red) tidak mentaati aturan itu, maka pihak KKP tidak akan menerbitkan SLO (surat layak operasi) dan SPB (surat persetujuan berlayar). Dan itu dia nilai merupakan sebuah kebijakan yang menyengsarakan rakyat.

“Jangankan melanggar aturan itu, para nelayan yang tidak mau menandatangani surat pernyataan untuk menggunakan PMS (GPS, red) saja tidak akan diberikan SLO dan SPB. Sehingga patut dipertanyakan, apa sih maunya negara ini kepada warganya. Masak iya negara berbisnis dengan pemegang kedaulatan,” ungkapnya.

Dia juga menegaskan, jika PP dan Permen KKP yang hendak diberlakukan itu sejatinya melanggar konstitusi. Sebab Undang-Undang yang merupakan patokan dasar dari aturan itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah diputuskan belum bisa diberlakukan atau harus disempurnakan oleh pembentuk UU.

“PP dan aturan teknis lain yang mengatur tentang penangkapan ikan terukur ini inkonstitusional (melanggata konsitusi, red) sesuai putusan MK. Dari itu tidak ada alasan, produk hukum ini harus kita lawan bersama,” tandasnya.

Untuk diketahui, kedatangan Pengurus Anpunan NTB dalam agenda hearing diterima langsung oleh beberapa Anggota Komisi II DPRD NTB, di antaranya Akhdiansyah dan Wawan Satriawian. (SNR)